DREAMERS.ID - Jelang pelantikan Joko Widodo sebagai presiden 20 Oktober mendatang, pihak-pihak yang dulu berseberangan melakukan kunjungan yang diakui dengan gamblang ada pembicaraan tentang bergabung ke dalam koalisi pemerintahan, tak terkecuali isu bagi-bagi kursi menteri.
Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Istana Kepresidenan, Jakarta 10 hari sebelum pelantikan periode kedua. Jokowi pun menyebut ada kemungkinan komposisi koalisi partai yang mendukungnya bertambah dengan membuka peluang Demokrat, yang ketua umumnya adalah SBY untuk merapat ke koalisi.
Esoknya, giliran rival Jokowi di dua pilpres, Prabowo Subianto yang menyambangi istana atas undangan langsung dari Jokowi. Jokowi pun kembali menyampaikan peluang Gerindra merapat yang direspon Prabowo dengan menyatakan kesiapan membantu pemerintahan dengan jadi penyeimbang.
Melansir CNN, masuknya Gerindra dan Demokrat ke barisan pemerintah tentu menambah gemuk koalisi, bahkan bisa disebut koalisi obesitas. Hal ini juga menandakan hanya PKS yang berada di luar pemerintahan.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, koalisi yang teramat besar berpotensi menimbulkan konflik internal. Sebab setiap partai punya kepentingan yang berbeda.
"Akan terjadi obesitas koalisi nanti, dan itu bisa dipastikan obesitas koalisi di parlemen. Kalau obesitas itu tidak di-maintain dengan baik, akan terjadi benturan-benturan, hambatan psikologis di sana karena bukan perkara mudah menyatukan orang yang selama ini beda pandangan," kata Adi
Baca juga: Resmi, Menhan Prabowo Sandang Bintang 4 Di Pundaknya
"Jokowi harus jadi panglima terakhir yang bisa meredam potensi, gejolak-gejolak parpol yang berbeda secara ideologi dan kepentingan. Satu-satunya pintu terakhir ya Presiden, mandataris rakyat, yang punya hak prerogatif mengatur dan menertibkan partainya," tutur Adi.Begitu pula dengan penuturan peneliti politik LIPI Siti Zuhroyang mengatakan koalisi Jokowi berpotensi negara akan dikuasai elite semata. Karena idealnya, sistem presidensial mengedepankan asas pengawasan dan keseimbangan atau check and balance.
"Idealnya demokrasi itu check and balances, mengoptimalkan representasi di DPR. Tapi melihat 'pertemanan besar' yang harus dilakukan karena harus mengakomodasi (pihak yang kalah pilpres), politik harmoni, dampak harmoni itu asyik untuk para elite," kata Siti.
Sinyal tersebut menuju oligarki yang semakin jelas dengan pernyataan Sekjen Partai Nasdem Johnny G. Plate yang menyatakan Prabowo serta Surya Paloh sepakat amandemen UUD 1945 secara menyeluruh.
"Ini saatnya kita menggalang konsolidasi civil society. Kita tidak boleh memberikan kepercayaan absolut, penuh, hanya kepada DPR yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat harus bangkit, cerdas merespons permasalahan di negara bangsa," ujarnya.
(rei)