DREAMERS.ID - Topik tugas akhir seperti skripsi dan tesis kini memang bervariasi dan bisa berasal dari sudut pandang berbeda. Seperti yang dilakukan seorang mahasiswi satu ini memilih para narasumber yang ‘berbahaya’ atau membahayakan wanita.
Melansir Merdeka, Madhumita Pandey, mahasiswi India yang berkuliah di Universitas Anglia Ruskin, Inggris, tergerak untuk mewawancarai 100 pemerkosa di negara asalnya karena prihatin dengan meningkatkan angka pemerkosaan yang bahkan dianggap ‘biasa’ di sana.
"Mengapa orang-orang ini melakukan hal tersebut? Kami menyebut mereka sebagai monster karena kami pikir tidak ada manusia normal yang bisa berbuat sekejam itu. Saya berpikir, apa yang mendorong orang-orang ini? Apa yang membuat pria memperkosa? Saya memutuskan untuk menanyakan kepada sumbernya langsung," kata Pandey.
Mahasiswi jurusan kriminolog ini menemukan fakta jika sebagian besar pria pelaku pemerkosaan yang ditemuinya tidak berpendidikan. Hanya segelintir orang yang bisa menyelesaikan pendidikan hingga SMA, sisanya hanya lulusan kelas tiga sekolah dasar.
"Ketika saya memulai penelitian, di benak saya tertanam bahwa orang-orang ini adalah monster. Tetapi ketika berbicara langsung, saya baru menyadari mereka bukanlah pria luar biasa. Mereka hanya pria biasa yang dibesarkan dengan pola pikir yang salah," jelasnya.
Baca juga: Mantan Kontestan 'Produce 101 Season 2' Jeong Joong Ji Meninggal Dunia Diduga Bunuh Diri
Menurutnya, para pria yang diwawancarainya di Penjara Tihar, New Delhi, India itu memiliki anggapan maskulinitas yang salah dan wanita cenderung bersikap penurut sehingga dianggap bisa diperlakukan seenaknya. Dalam rumah tangga pun kasus pemerkosaan sering terjadi."Mereka tidak diajarkan tentang pendidikan seks selama di sekolah. Orangtua bahkan tidak menggunakan kata-kata seperti penis, vagina, pemerkosaan, atau seks dalam kehidupan sehari-hari sehingga para pria itu bahkan tidak tahu kalau yang mereka perbuat (memperkosa) adalah kesalahan," paparnya.
Namun ada juga pelaku yang menyesali perbuatannya dan menawarkan tanggungjawab. Berbagai keterangan membuat Pandey merasa kasihan pada pelaku yang dalam kasus di India, terjebak dalam paradigma yang salah, didukung pula oleh kondisi lingkungan dan pendidikan yang memilukan.
"Ada seorang pelaku yang mengaku memperkosa bocah lima tahun. Dia menyadari perbuatannya salah dengan mengatakan, 'ya saya merasa tidak enak. Saya membahayakan nyawa dia dan membuat dia tidak perawan lagi. Saat besar tidak akan ada yang mau menikahinya. Tapi saya akan menerimanya, saya akan menikahinya saat keluar dari penjara,'" kata Pandey menirukan kata-kata pelaku.
(rei)