DREAMERS.ID - Lepas dari musim panas, Jepang menyambut hari pertama sekolah setelah libur panjang pada Jumat hari ini. Sayangnya, hari pertama sekolah di Jepang justru disambut suasana pedih karena tradisi bunuh diri.
Di Negeri Sakura itu, menghadapi hari pertama sekolah memang membuat tingkat stres siswa meningkat. Melansir CNN, mereka harus menyiapkan mental menghadapi para pem-bully dan tantangan akademis. Hari pertama sekolah di sana juga disebut hari ketika angka bunuh diri tertinggi di Jepang.
"Kembali ke sekolah menciptakan kecemasan," ujar Kuniyasu Hiraiwa, perwakilan petinggi AfterSchool, organisasi non-profit yang membantu orangtua untuk mendeteksi tanda-tanda depresi pada anak-anak. Setiap tahun, ada 20 ribu lebih penduduk Jepang mengakhiri nyawanya sendiri.
Karena itu muncul sederet aksi dari para selebriti, perpustakaan hingga kebun binatang Tokuo yang menawarkan bantuan untuk mereka yang gugup menghadapi hari pertama sekolah. "Jangan pernah mati. Hidup lah," kata artis Jepang Shoko Nakagawa di akun Twitternya
"Setiap harinya saya menerima surat dari remaja-remaja yang merasakan dorongan untuk bunuh diri, atau pernah berusaha bunuh diri," ujar Penyanyi YuYu Horun yang pernah mencoba bunuh diri. "Banyak anak tidak merasakan kasih sayang dari orangtua -- mereka-merea yang umumnya tidak pernah menerima kasih sayang itu sendiri."
Baca juga: Bunuh Diri Masih Menjadi Penyebab No. 1 Kematian Anak Muda Korea
Ada pula beberapa perpustakaan mendorong anak-anak untuk erlindung di gedung mereka. Sementara Kebun Binatang Ueno di Tokyo menyerukan agar anak-anak beresiko itu diperbolehkan bolos di hari pertama."Jika tidak ada tempat untuk kabur, datanglah ke kebun binatang," demikian pesan mereka di Twitter. Sementara itu pemerintah Jepang juga mendorong pihak sekolah lebih awas tentang siswa yang menunjukkan tanda depresi.
"Saya menyarankan mereka untuk berbicara pada seseorang -- keluarga, guru, teman, atau siapapun -- soal masalah-masalah mereka," kata Menteri Pendidikan Jepang Yoshimasa Hayasa, Jumat (1/9). "Jika sukar untuk berbicara dengan seseorang di sekitar mereka, saya berharap mereka bisa berkonsultasi lewat layanan yang disediakan menteri pendidikan."
"Proporsi kasusnya memang tidak tinggi, tapi kasus bunuh diri pada remaja seharusnya tidak dilihat dari sudut pandang statistik. Ini seharusnya ditangani dari perspektif sosial," kata Yutaka Motohashi, Pusat Penanganan Bunuh Diri Jepang. "Anak-anak harus diajari cara untuk menangani stres pada kehidupan sehari-hari.. dan ketika mereka menghadapi masalah juga bisa berbicara dengan orang dewasa yang bisa dipercaya."
(rei)