DREAMERS.ID - Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi di pemilihan umum. Tak terkecuali para warga penyandang tunagrahita atau disabilitas mental akan bisa ikut mencoblos pada Pemilu 2019 mendatang.
Soal penjelasan lebih lanjut, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan kemungkinan hanya mendata penyandang disabilitas mental yang berada di rumah, berkumpul dengan keluarga atau mereka yang dirawat di rumah sakit jiwa karena pendataan tersebut bergantung pada situasi dan kondisi.
Jika saat pendataan penyandang disabilitas mental sedang tidak sehat atau "kumat", maka pendataan tak bisa dilakukan langsung terhadap yang bersangkutan. Namun bisa dilakukan dengan bertanya pada tenaga media atau dokter yang merawatnya.
Namun pada prinsipnya, KPU tidak hanya mengakomodasi pemilih penyandang disabilitas mental, tetapi, semua penyandang disabilitas juga dimasukkan ke dalam DPT. Khusus bagi penyandang disabilitas mental, tetap didaftar dalam DPT. Namun, penggunaan hak pilih pada hari pemungutan suara sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawat.
Baca juga: Yang Dinanti, Begini Ucapan Sandiaga Uno Kepada Presiden-Capres Terpilih Jokowi - Ma'ruf
Senada dengan psikiater dr. Zulvia Syarif, SpKJ, tunagrahita atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bisa menggunakan hak pilihnya jika saat hari pencoblosan dalam kondisi terkontrol. Artinya, bisa diajak berkomunikasi dan tidak dalam tiik pikir yang berbeda dari realita."Orang dengan gangguan jiwa itu sama seperti orang sakit. Mungkin sebelum hari H terkontrol, tetapi saat Pemilu sedang terganggu, nggak bisa berkomunikasi dengan baik. Ya dia nggak bisa milih, tapi dia tetap punya hak pilih," ujarnya. "Ya kalau ngobrol saja ngga bisa, diajak ke TPS nggak bisa, bagaimana dia mau memilih,"
Selain itu ada kondisi lain yang tak memungkinkan seorang tunagrahita tidak bisa menggunakan hak pilihnya, yaitu saat mengalami gangguan penilaian realita, alias tidak bisa membedakan kenyataan dengan khayalan.
"Biasanya dia itu memiliki titik pikir berbeda dan gangguan proses berpikir. Misal halusinasi, ada keyakinan salah yang berbeda dari realita," jelas dokter yang akrab disapa Vivi ini. "Yang penting bagaimana kondisi dia saat ingin menggunakan hak pilihnya. Berfungsi komunikasinya, fungsi sosialnya, tidak ada gangguan penilaian realita,"
(rei)